Sebutkan5 Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas/tingkat kesehatan pada suatu daerah ! Jawaban : 1. Sarana Prasarana kesehatan kurang memadai 2. Kurang kesadaran mengenai arti pentingnya kesehatan 3. Kurang gizi masyarakat 4. Adanya bencana Alam 5. Adanya peperangan yang tahu jawabannya boleh melengkapi dibawah coment.
Pertama adalah dunia pendidikan, karena persoalan-persoalan intoleransi ini, berdasarkan pengamatan kami dimulai dari tingkat pendidikan paling dasar di tingkat PAUD (pendidikan anak usia dini) hingga perguruan tinggi. Kami minta Presiden agar pelaksanaan dunia pendidikan ini jangan sampai menjadi arena untuk memperkuat sektarian," tambah Yando.
Drdrh Fitriya Nur Annisa Dewi selaku Dosen Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis ( SKHB) Institut Pertanian Bogor (IPB) mengungkapkan di dalam era big data dan OMICS data yang kaya akan penelitian transkriptomik. "Salah satu metode transkriptomik high throughput, yaitu microarray bisa menganalisa sekaligus dalam jumlah banyak sampel di level
cash. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Kualitas pendidikan sebuah negara menentukan kualitas sumber daya manusia pada negara tersebut. Bukanlah sebuah rahasia apabila Indonesia memiliki kualitas pendidikan yang rendah, ada banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah perbedaan perlakuan pendidikan untuk masing - masing wilayah Indonesia, faktor ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan atau ketimpangan pendidikan antara wilayah satu dengan wilayah yang lain. Wilayah yang terdapat didekat pusat kota, industri dan perdagangan tentu saja memiliki kualitas pendidikan yang sangat baik dibandingkan wilayah yang memiliki letak geografis pelosok hutan dan kedua yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah kurangnya sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang keberlangsungan pendidikan, contohnya saja ketersediaan gedung sekolah yang layak tidak semua sekolah negri khususnya memiliki gedung sekolah yang layak untuk proses belajar mengajar hal ini jelas sekali terlihat pada gedung - gedung sekolah SD,SMP dan SMA yang terdapat di wilayah 3 T Tertinggal, terjauh dan terisolasiKebanyakan belum memiliki gedung sekolah yang layak pakai. Faktor ketiga adalah kurangnya semangat dan motivasi guru dalam mengajar, yang saya maksud disini adalah guru honorer khusunya di sekolah - sekolah negri yang mana kurrangnya semangat dan motivasi ini disebabkan upah yang tidak memadai dan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari - hari, rata - rata gaji guru honorer SDN adalah mana jumlah ini masih jauh dari kata layak mengingat untuk menjadi guru saja seseorang harus menempuh pendidikan sarjana. Jumlah uang kuliah saat menempuh pendidikan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh ketika bekerja. Oleh karena itu sejahterakanlah nasib guru honorer sehingga mereka bisa memiliki motivasi mengajar lebih baik. Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di IndonesiaDi bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu1. Efektifitas Pendidikan Di IndonesiaPendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik dosen, guru, instruktur, dan trainer dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Efisiensi Pengajaran Di Indonesia Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul dan diakhiri sampai pukul Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih. Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami Standardisasi Pendidikan Di IndonesiaJika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan BSNP.Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagiPenyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Rendahnya Kualitas Sarana FisikUntuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan Balitbang Depdiknas 2003 menyebutkan untuk satuan SD terdapat lembaga yang menampung siswa serta memiliki ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak atau 42,12% berkondisi baik, atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak Rendahnya Kualitas GuruKeadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% negeri dan 28,94% swasta, untuk SMP 54,12% negeri dan 60,99% swasta, untuk SMA 65,29% negeri dan 64,73% swasta, serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% negeri dan 58,26% swasta.Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas 1998 menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas 3,48% berpendidikan S3.Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan Rendahnya Kesejahteraan GuruRendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII Federasi Guru Independen Indonesia pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya Republika, 13 Juli, 2005.Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen PNS agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen Pikiran Rakyat 9 Januari 2006.4. Rendahnya Prestasi SiswaDengan keadaan yang demikian itu rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study TIMSS 2003 2004, siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme UNDP juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia Greaney,1992, studi IEA Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD 75,5 Hongkong, 74,0 Singapura, 65,1 Thailand, 52,6 Filipina, dan 51,7 Indonesia.Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 IEA, 1999 memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan Kurangnya Pemerataan Kesempatan PendidikanKesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni APM untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% 28,3 juta siswa. Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% 9,4 juta siswa. Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan KebutuhanHal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS 1996 yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia Mahalnya Biaya PendidikanPendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak TK hingga Perguruan Tinggi PT membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp — sampai Rp Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS Manajemen Berbasis Sekolah. MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan RUU BHP. Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara BHMN. Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen Kompas, 10/5/2005.Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 1 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas. Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice ENJ, Yanti Mukhtar Republika, 10/5/2005 menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan RUU BHP, Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan BHP yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara BHMN itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan’.D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di IndonesiaUntuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaituPertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme mazhab neoliberalisme, yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya. Lihat Pendidikan Selengkapnya
image source Mengapa pendidikan di Indonesia berada di tingkat yang rendah? Ini adalah pertanyaan yang sering diajukan oleh kalangan pemerhati pendidikan. Masalah pendidikan di Indonesia sudah menjadi isu utama selama bertahun-tahun. Kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, meskipun ada usaha-usaha untuk meningkatkannya. Hal ini bisa dilihat dari hasil ujian nasional, dimana sebagian besar siswa Indonesia belum memenuhi syarat untuk lulus. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, namun masih ada banyak masalah yang harus diatasi. Berikut adalah beberapa alasan mengapa pendidikan di Indonesia masih rendah. Kurangnya Dukungan Pemerintah Salah satu alasan mengapa pendidikan di Indonesia berada di tingkat yang rendah adalah karena kurangnya dukungan pemerintah. Pemerintah tidak memberikan dana yang cukup untuk sekolah-sekolah di Indonesia. Hal ini menyebabkan sekolah-sekolah di Indonesia tidak memiliki cukup dana untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah-sekolah tidak dapat membeli buku atau peralatan yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu, pemerintah juga tidak menyediakan cukup dana untuk mengumpulkan tenaga pengajar yang berkualitas. Hal ini menyebabkan banyak sekolah tidak memiliki tenaga pengajar yang berkualitas. Karena itu, pendidikan di Indonesia masih berada di tingkat yang rendah. Kurangnya Dukungan Masyarakat Satu lagi alasan mengapa pendidikan di Indonesia berada di tingkat yang rendah adalah karena kurangnya dukungan masyarakat. Masyarakat di Indonesia masih memiliki pandangan bahwa pendidikan adalah hal yang tidak penting. Mereka lebih memilih untuk berinvestasi di bidang lain seperti usaha kecil atau properti. Mereka juga tidak memiliki motivasi untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah. Hal ini menyebabkan tingkat partisipasi sekolah di Indonesia rendah. Selain itu, banyak orang di Indonesia juga masih memiliki pandangan bahwa pendidikan hanya diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka tidak memandang pendidikan sebagai cara untuk belajar dan mengembangkan diri. Hal ini turut berkontribusi pada tingkat pendidikan yang rendah di Indonesia. Kurangnya Akses ke Pendidikan Tinggi Kurangnya akses ke pendidikan tinggi juga menjadi salah satu alasan mengapa pendidikan di Indonesia berada di tingkat yang rendah. Di Indonesia, hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki akses ke pendidikan tinggi. Hal ini disebabkan karena kurangnya ketersediaan fasilitas pendidikan tinggi di Indonesia. Selain itu, biaya yang dibutuhkan untuk masuk ke sekolah tinggi di Indonesia juga cukup tinggi. Hal ini membuat banyak orang enggan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Akibatnya, tingkat pendidikan di Indonesia masih berada di tingkat yang rendah. Kurangnya Program Pendidikan di Sekolah-sekolah Kurangnya program pendidikan di sekolah-sekolah juga menjadi salah satu alasan mengapa pendidikan di Indonesia berada di tingkat yang rendah. Sekolah-sekolah di Indonesia masih menggunakan metode pengajaran yang konvensional dan kurang menarik. Hal ini menyebabkan banyak siswa yang bosan dengan pendidikan dan mengakibatkan mereka menjadi malas untuk belajar. Selain itu, banyak sekolah di Indonesia juga tidak memiliki program untuk membantu siswa lulus ujian. Hal ini membuat siswa kurang siap untuk menghadapi ujian nasional. Karena itu, pendidikan di Indonesia masih berada di tingkat yang rendah. Kurangnya Kualitas Guru Satu lagi alasan mengapa pendidikan di Indonesia berada di tingkat yang rendah adalah kurangnya kualitas guru. Di Indonesia, banyak guru yang belum memiliki pendidikan yang tepat untuk mengajar siswa. Selain itu, banyak guru di Indonesia yang lebih memilih untuk mengajar di sekolah swasta yang lebih menguntungkan daripada mengajar di sekolah-sekolah negeri. Hal ini menyebabkan banyak sekolah di Indonesia tidak memiliki tenaga pengajar yang berkualitas. Akibatnya, kualitas pendidikan di Indonesia masih berada di tingkat yang rendah. Kurangnya Akses ke Teknologi Kurangnya akses ke teknologi juga menjadi salah satu alasan mengapa pendidikan di Indonesia berada di tingkat yang rendah. Di Indonesia, banyak sekolah yang masih belum memiliki akses ke teknologi. Hal ini membuat siswa kurang dapat belajar tentang teknologi. Selain itu, banyak sekolah di Indonesia juga tidak memiliki akses ke internet. Hal ini membuat siswa kurang dapat mencari informasi yang diperlukan untuk belajar. Akibatnya, tingkat pendidikan di Indonesia masih berada di tingkat yang rendah. Kurangnya Keterampilan Soft Skill Kurangnya keterampilan soft skill juga menjadi salah satu alasan mengapa pendidikan di Indonesia berada di tingkat yang rendah. Di Indonesia, banyak sekolah yang masih belum mengajarkan soft skill seperti komunikasi, kerja tim, dan pemecahan masalah. Hal ini membuat siswa kurang dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi dunia kerja. Selain itu, banyak sekolah di Indonesia juga tidak memiliki program untuk membantu siswa mengembangkan soft skill. Akibatnya, tingkat pendidikan di Indonesia masih berada di tingkat yang rendah. Kesimpulan Mengapa pendidikan di Indonesia berada di tingkat yang rendah? Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya dukungan pemerintah, kurangnya dukungan masyarakat, kurangnya akses ke pendidikan tinggi, kurangnya program pendidikan di sekolah-sekolah, kurangnya kualitas guru, kurangnya akses ke teknologi, dan kurangnya keterampilan soft skill. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar Indonesia dapat mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi di tahun 2022.
sebutkan beberapa penyebab rendahnya tingkat pendidikan di indonesia